Jakarta –
Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi mengatakan anggaran subsidi pupuk bisa jebol jika kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dicabut. Hal ini disebabkan komoditas pupuk mempunyai elastisitas harga yang tinggi.
Rahmad menuturkan, setiap kenaikan harga bisa mengurangi pembelian pupuk di tingkat petani, misalnya pada Urea dan NPK.
“Dari riset kami setiap Rp 1.000/kg kenaikan akan menurunkan penggunaan Urea 13% dan NPK 14%,” ucap Rahmad dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR RI di Kompleks DPR RI, Jakarta Pusat, Rabu (3/4/2024).
Ia melanjutkan, berkurangnya penggunaan pupuk bakal menurunkan produktivitas pertanian yang bakal berdampak ke produksi beras nasional. Oleh sebab itu, Rahmad menuturkan, yang menjadi isu adalah keterjangkauan harga pupuk.
Pemerintah sudah membantu dengan mengeluarkan kebijakan HGBT. Dengan HGBT, penggunaan pupuk Urea yang berasal dari gas bisa naik 71% dan NPK 5%. Rahmad menjelaskan tanpa HGBT, beban anggaran untuk pupuk subsidi bisa jebol.
“Pertanyaan kalau tidak dapat HGBT berapa anggaran subsidi? Setiap US$ 1 kenaikan harga gas, maka akan berpengaruh pada kenaikan beban subsidi sebesar Rp 2,23 triliun atau alokasi subsidinya turun 0,6,” ungkapnya.
Dengan HGBT yang sudah diberlakukan selama tiga tahun terakhir, Rahmad menjelaskan, pemerintah bisa menghemat anggaran Rp 21,7 triliun untuk subsidi pupuk.
Dengan kebijakan tersebut, Rahmad menjelaskan, pemerintah masih memiliki utang pupuk subsidi Rp 16,5 triliun. Tanpa HGBT, ia menilai pemerintah perlu mengeluarkan biaya subsidi pupuk yang lebih besar.
“Sudah dihemat Rp 21,7 triliun saja Pupuk Indonesia waktu itu masih harus menanggung tagihan ke pemerintah sebesar Rp 16,5 triliun, jadi bisa dibayangkan kalau waktu itu tidak ada HGBT, berapa beban Pupuk Indonesia harus menanggung karena piutang subsidi yang Rp 16,5 triliun ditambah Rp 21 triliun, sangat besar,” pungkasnya.
(ara/ara)
The CEO of PT Pupuk Indonesia (Persero), Rahmad Pribadi, warned that the budget for fertilizer subsidies could be compromised if the Certain Natural Gas Price (HGBT) policy is revoked. This is due to the high price elasticity of fertilizer commodities, which means that any price increase could reduce farmer purchases of fertilizers like Urea and NPK. Rahmad stated that research shows that a price increase of Rp 1,000/kg could decrease Urea usage by 13% and NPK by 14%.
Reduced fertilizer usage would lower agricultural productivity, impacting national rice production. Therefore, the affordability of fertilizer prices is a crucial issue. The government has helped by implementing the HGBT policy, which has increased the usage of Urea and NPK by significant percentages. Without the HGBT policy, the subsidy budget for fertilizers could face a significant increase for every US$1 increase in gas prices.
Due to the HGBT policy in the last three years, the government has saved Rp 21.7 trillion in fertilizer subsidies. However, there is still a remaining subsidy debt of Rp 16.5 trillion. Without the HGBT policy, the government would need to allocate a larger budget for fertilizer subsidies, leading to a considerable financial burden. The CEO emphasized the importance of the HGBT policy in managing the subsidy budget effectively and avoiding a substantial increase in fertilizer subsidy costs.
Source link